“ Jalani Kehidupan di tengah kota metropolitan”

Oleh : Hariyadi Eko. P

hari ini ku tak tahu harus menidurkan kemana badan ini. Kehidupan yang penuh dengan liku-liku telah di jalani selama kurang lebih 2 tahun. Pontianak adalah kota di mana tempat ku melanjutkan pendidikan.. juli adalah bulan-bulan awal bagi ku menginjakan kaki disisi. Mencoba dan berusaha menjadi orang yang mandiri, membuat ku harus belajar mencari tempat-tempat kost gratis. Bukan karena orang tua tak mampu namun kemauan dan merasa malu terhadap mereka membuat ku membaranikan diri.

Sungai raya dalam, komplek Bumi Batara blok b nomor 48 adalah rumah pertama yang menjadi kediaman ku. Pemilik rumah adalah teman orang tua ku. Di rumah yang gratis ini aku harus menajdi orang yang pandai, pandai menghargai apa yang telah orang berikan dan harus pandai bertanggung jawab terhadap amanah. Dari rumah yang sederhana ini ku temukan teman pertama, Mas Bowo, tak terlalu tinggi namun kumis yang hitam pekat mewarnai atas bibirnya memberikan kesan yang begitu sangar. Tegur sapa ku awali, dank u beranikan diri untuk bersilahturahmi di rumahnya. Kumis yang tebal ternyata tak memberikan gambaran sifat seseorang. Ya …..Mas bowo ternyata memilki watak yang dermawa.

Hanya beberapa hari aku berkenalan denganya, ia pun menjadi teman yang begitu baik. Kopi, makanan sudah menjadi kebiasaan bila aku bertamu ddi rumahnya. Rokok adalah hobi kami berdua sehingga suasana perbincangan di kala berkunjung ke rumah beliau menjadi asik. Teman ke dua adalah Bang. Adi tetangga samping rumah itu memiliki bandan yang besar dan tinggi dan tak lupa kumis yang melekat di bibir Mas. Bowo ternyata ada padanya. Namun lagi-lagi prediksi ku salah. Bang. Adi yang begitu sangar wajahnya ternyata memiliki hati yang lembut, ya……..lembut bak mentega.

Selama kurang lebuh satu tahun berada di sana banyak sekali cerita-cerita yang berkesan dan memebrikan pengalaman hidup. Mas. Bowo, orang yang sudah ku anggap sebagai orang tua, saudara, sahabat banyak sekali memberikan petuah-petuah hidup. Setiap kali kami berdiskusi maka begitu juga petuah itu keluar. Satu petuah yang kini ia katakan kepada ku “hidup merantau harus lah menjadi ayam betina dan jangan pernah menjadi ayam jantan”. Ayam betina akan selalu tunduk di mana pun ia berada, selalu mengalah dan menghormati orang lain. Namun si ayam jantan aku selalu membusungkan dadanya di manapun ia berada, sehingga ia menganggap dirinya adalah sang penguasa.

Secangkir kopi dan sebungkus rokok pasti menemani kami, begitu pula denga petuah-petuahnya. Namun kebahagian itu kini telah hilang dan hanya menjadi kenangan. Selesai ujian semester 3 aku pun menghadapi liburan, waktu liburan biasanya ku mamfaatkan untuk pulang kampung. Hari itu tak ada pirasat atau pertanda apaun. Ku berpamitan kepada beliau. Dengan sepeda motor vega dan tas yang berisikan pakaian aku pun berangkat pulan. Seminggu berada di kampung halaman ternyata memberikan kebagian, bertemu orang tua dan saudara. Namun semua itu menjadi sirna ketika handpone ku berbunyi. Seorang teman serumah memberikan kambar yang mengejutkan dan menyayat hati. Teman ku berkata “Innalilah” aku terkejut dan bertanya, Siape yang meninggal Al.? teman ku menjawab kalau Mas Bowo telah pergi jauh untuk selamanya. Namun kabar itu tak lantas membuat ku percaya. Ku hubungi Bang. Adi tetangga sebelah akan kebenaran kabar yang ku dapat. Ternyata benar teman baik yang telah ku anggap sebagai orang tua, sauadara dan sahabat telah tiada.

Hati telah tersayat. Seorang teman yang selalu menyuguhkan kopi, makanan dan sebungkus rokok itu telah pergi. Pakaian ku kemas, dengan modal seratus ribu dan motor Vega aku pun melaju dengan cepat. 3 jam perjalanan dari ngabang menuju pontianak adalah waktu yang sangat cepat. Di gerbang kompleks tertanam sebatang kayu yang terdapat kain kuning. Dari kejauhan ku lihat begitu ramai warga-warga yang berkerumunan, yang memberikan pertanda di rumah sana sedang berduka. Semakin dekat dan semakin dekat tubuh ku. Ku lihat pandangan mata warga yang begitu merah. Bang. Adi orang pertama yang ku temui dan ia pun langsung mengajak ku melihat jasad sang teman untuk terakhir kalinya.

Sosok yang begitu tegap, kumis yang tumbuh di atas bibir kini telah kaku tak berdaya. Mata yang selalu memandang kini telah terpejam. Dan orang yang selalu memberikan petuah kini telah hilang. Tak mampu mata ini melihat kenyataan, aku pun keluar. Ku temui seorang ibu yang juga baik kepada ku. Kekesalan ternyata menyelimuti nya. Dan ia berkata sebelum Mas. Bowo meninggal ia selalu mencari ku. Ya mencari ku untuk membantunya mengangkat pasir. Kawan rumah yang baru saja ia renovasi untuk menyambut bulan suci ramdhan kini ia tinggalkan. Seorang istri yang begitu setia kini harus menjanda. Banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang ku dapatkan beliau dan kini akan menjadi pelajaran yang begitu berharga bagi ku.

Kini aku harus hidup dengan nuansa baru, tak ada teman sekopi dan sebungkus rokok bahkan tak ada petuah-petuah yang ku dapatkan dan semua itu membuat ku menjadi gelisah untuk tinggal di rumah. Setelah beberapa hari aku pun kembali pulang ke kampung halaman untuk menyambut bulan Rahmdahan. Hari demi hari ku jalani hingga masa lebaran pun tiba dan tak lama lagi aku akan kembali. Kembali di rumah membuat aku terkenang masa-masa bersama beliau. Untuk melupakan itu ku cari kesibukan-kesibukan. Selain mencari kesibukan tentu saja kesibukan itu akan menambah uang jajan. Lofer Koran yang di tawarkan seorang teman menjadi pekerjaan pertama ku selama berada di pontianak. Lampu merah simpang POLDA KALBAR adalah tempat mangkal atau lokasi ku berjualan. Tribun pontianak Koran yang ku jual, hanya dengan harga seribu rupiah memberikan penghasilan yang cukup lumayan.

Hamir 8 bulan sudah kujalani profesi itu. Berpanas-panasan, kehujanan, belum lagi konsumen yang melihat pekerjaan ini bak pencuru memberikan kesan yang begitu indah. Hari itu tak ada sepeser pun uang yang hinggap di saku. Mau tidak mau aku harus mengambil korang tak seperti biasa. 145 exampler Koran yang harus ku jual dan dengan keyakinan aku pun mulai beraksi. Namun cuaca ternyata tak bersahabat, pagi pukul enam awan telah memberikan pertanda akan turun hujan. Benar saja desiran air dari atas telah jatuh membasahi bumi. Namun semua itu tak membuat ku gentar. Plastic besar menjadi pelindung korang, helm standar menjadi pahlawan sang pengelana yang di landa kekeringan uang.

Mulai pukul enam hingga setengah tingga sore aku harus berjualan korang yang di temani sang hujan. Hujan yang tak kunjung berhenti ternyata memberikan banyak rejeki. 145 korang kurang lebih berharian berjualan habis terjual Rp.50.000 kurang lebih yang ku dapatkan. Dengan uang sebanyak itu cukup untuk membeli makanan dan cemilan. Begitu banyak pelajaran yang ku dapatkan menjadi lofer korang yang berawal dari mencari kesibukan hanya untuk melupakan kenangan bersama seorang sahabat. Sahabat aku kini hanya bias berkata, semoga engkau tenang di alam sana. Pindah rumah menjadi pilihan ku, rumah yang begitu “sumpek” menjadikan diri ku gelisah. Kota baru Gg karya 3 rumah kontrakan yang di huni keluarga deri menjadi tempat kedua untuk ku beristirahat. Keluarga yang begitu baik itu menerima ku untuk tinggal bersamanya. Selama tinggal di sana aku masih menjadi loper Koran, namun aku telah membuka usaha kecil-kecilan. Warung kopi yang berisikan makanan ala “barat” menjadi menu handalan kami. Berawal dari diskusi kecil di kampus ide itu muncul. Ilyas, Maniri, Indra dan aku adalah orang-orang yang memiliki seidikit persamaan prinsip.

Tak selamanya kita haru berpatokan kepada orang tua dan tak selamanya kita harus menyusahkan mereka, membuat kami termotivasi untuk membuka usaha. Singkat cerita di jalan Vetran kami menyewa tempat untuk membuka usaha itu. Dengan harga sewa 2o ribu perhari kami pun memberanikan diri. Hari pertama membuka usaha ada cerita yang lucu bagi ku. Ya……..lina seorang wanita yang pernah mengisi kehidupan ku harus menjadi sasaran empuk kebohongan. Slamatan membuka usaha baru itu bahasa yang ku gunakan, sehingga Ia mau menemani hari-hari pertama menjadi sang pengusaha kakap. Warung yang sederhana itu cukup membantu kami ber empat, walaupun penghasilan yang serba kecukupun tapi semangat kawan-kawan tak pernah luntur, walaupun badai cobaan selalu mengahadang. Makan sebungkus nasi untuk empat orang selalu menghiasi malam setelah tutup. Keemapt tangan bak cakar ayam menjadi alat untuk melahap. Tak perduli tangan apa dan bekas apa karena hasrat lapar semua itu menjadi nikmat, hahaha….nikmat dan nikmat tanpa ada yang merasa geli.

Loper Koran dan membuka usaha ternyata tak membuat ku lega dengan kemandirian. Menjadi salaes air kotak, menggunakan sepeda motor di hiasi keranjang yang terbuat dari rotang dan berisiskan beberapa air mineral aku pun mengelilingi kota pontianak. Rasa malu, tak pernah ku hiraukan. Yang terpikir aku harus menjadi orang yang mandiri. Usai kuliah adalah waktu aku memulai pekerjaan, di saat sebagian orang menikmati tidur siang aku menjadi sang pengelana. Hari demi hari ku jalani beberapa aktivitas sehingga membuat tubuh ku jatuh. Batuk darah dan demam adalah tersangka yang membuat ku meninggalkan pekerjaan sales . Hanya beberapa bulan bekerja aku pun harus mengakui bahwa aku tak mampu lagi dengan kesibukan-kesibukan yang begitu berat, sehingga satu persatu pekerjaan ku tinggalkan. Lover Koran, sales kini hanya menjadi kenangan. Kini yang ku harapkan usaha yang di rintis bersama ke tiga sahabat akan tetap exsis dan akan memberikan penghasilan.Kawan selama 2 tahun aku tinggal berpindah-pindah. Dari rumah ke rumah, kost teman dan kampus menjadi tempat peristirahatan ku. Bukan karena tak mampu namun sifat ku yang tak biasa tetap membuat aku harus seperti ini. Menjadi sang pengelana yang selalu mencari pelajaran hidup di tengah hangar binger kehidupan kota.

“ Sahabat adalah orang yang selalu menerima kekuarang dan selalu mendukung apa yang kita cita-citakan, seorang sahabat tak akan pernah rela melihat kesengsaraan sahabat yang lain”

0 komentar:

Posting Komentar